Gedicht
Goenawan Mohamad
CIRCUS
As you suspected: no more visitorsto the tent.
Only four tourists, half-blind, who staggered
down the harbor from aboard a black Yokohama ship,
whispering, “Go on, write down your impressions,”
and on a sheet of rice paper
they wrote down your name (well, probably your name).
On the trapeze you did not cry.
Once, somewhere up there you might have seen
angels, travelers, by turns. The sky as if
convulsed, dusk nearing its end,
the call to prayer like the scream of an ambulance,
and nursery tales, riddles, like candies,
like candles, were brought over to the children
who were lying in a barrack,
far, far away, in a distant house.
This is a tired district, people say, the old Banten.
This is a district defeated.
No, I tried to protest.
But in the arena, a clown with a rumble in his
stomach tried to read his own shadow
on a tarpaulin: “How come I too am at a loss.”
I heard a person humming
behind the stage,
someone disappearing
into the makeup room
to wipe powder off her face.
As if erasing a trace.
As if peeling off memories,
peeling off the heart.
“This,” he said, “will change us
into reality. Circus is but a dream.”
Circus: a dream.
But outside, reality
gropes the limits. Like the rushing,
rustling of raindrops
across a pool’s surface:
the routine of water shaping traces,
masses of circles.
Ripple, shimmer, blue.
And possibly sound, too. A promise.
And you descended the trapeze.
There was no horse parade, but you weren’t
surprised. No line of girls
in white leotards,
no bears wobbling on all fours.
Just the movement of dwarves
choreographing an illusion:
“Look, it is our bodies
that free us tonight. ”
Our body asks us only
not to die, actually.
Our body only wants to touch
the joy of morning, the flurry of a male bird,
the steaming warmth of coffee, and to hear
a gentle injunction, like:
”Life is just a beer break on a journey.”
But to this field the circus once came,
and you flew, acrobatic
leaping through a hoop of fire,
like a dancing bird.
We are all animals that tried to
fashion something out of that fear, you said,
a structure of fear,
like a city in the forest.
Still. In the end, the circus hands will
once more shoulder the billboards,
our old frayed orange tassels,
and dismantle the tent.
The troupe will move again.
To the southeast, you said. Towards Tasik.
And like in any old ruins, here
battered grass will wait.
There will be no committee, no one saying,
“We will not forget.”
But you believe that forgetting
is what will free us.
© Translation: 2004, Laksmi Pamuntjak
From: Goenawan Mohamad: Selected Poems
Publisher: KataKita, Jakarta, 2004
From: Goenawan Mohamad: Selected Poems
Publisher: KataKita, Jakarta, 2004
Sirkus
Sirkus
Sudah kau duga: tak ada lagiyang datang ke dalam tenda.
Hanya empat turis setengah buta yang turun
ke pelabuhan, dari sebuah kapal hitam Yokohama,
berbisik, “Ayo cari kenangan,”
dan pada carik kertas merang
mereka tuliskan namamu (barangkali namamu).
Di trapis kau tak menangis.
Nun di atas kau mungkin melihat
malaikat, musafir, bergilir. Langit
seperti kejang, senja akan berakhir,
azan seperti sebuah jerit ambulans,
dan dongeng, teka-teki, seperti permen,
seperti lilin, dibawakan untuk anak-anak,
yang terbaring dalam sebuah barak
yang jauh, rumah yang jauh.
Ini sebuah distrik yang lelah, orang berkata, Banten yang tua.
Ini sebuah distrik yang kalah
Tidak, aku coba bantah.
Tapi di arena, badut yang mulai lapar
pun mencoba baca bayangnya sendiri
pada kain terpal: “Kok aku juga kehilangan.”
Kudengar seseorang bersenandung
di belakang panggung,
seseorang menghilang
ke dalam ruang rias,
menghapus pupur pada paras.
Seperti menghapus jejak.
Seperti menguliti ingatan.
Menguliti hati.
“Ini,” katanya, “akan mengubah kita
jadi kenyataan. Sirkus adalah sebuah mimpi.”
Sirkus: sebuah mimpi.
Tapi di luar, kenyataan
merayau batas. Seperti kejaran
desir hujan
pada muka kolam:
rutin air yang seakan membentuk bekas,
beribu lingkaran.
Riak, kilau, biru.
Mungkin juga bunyi. Janji.
Dan kau turun dari trapis.
Kau tak heran, tak ada parade kuda.
Tak ada sebaris gadis
dalam kaus putih,
beruang yang tertatih-tatih.
Hanya gerak kurcaci yang
menyusun sebuah ilusi:
“Lihat, tubuh kitalah
yang memerdekakan kita malam ini.”
Tubuh kita hanya minta kita
untuk tak mati, sebenarnya.
Tubuh kita hanya ingin bersentuhan
dengan girang pagi, geletar burung jantan,
hangat uap kopi dan mendengar
sebuah amar yang ringan, seperti:
“Hidup sekedar singgah minum di perjalanan.”
Tapi di lapangan ini sirkus pernah datang,
kau terbang,
akrobat meloncati sirkel api,
seakan burung yang menari.
Kita hewan yang pernah
membentuk sesuatu, katamu, dari takut itu:
sebuah struktur dalam ketakutan,
seperti sebuah kota dalam hutan.
Hanya akhirnya kuli-kuli akan mengusung
papan reklame,
umbul-umbul lama kita yang oranye,
melepas tenda.
Iring-iringan akan berpindah.
Ke tenggara, katamu. Arah Tasik.
Dan seperti petilasan tua, di sini akan menunggu
rumput yang remuk.
Tak ada panitia tak ada yang berkata,
“Kami tak akan lupa.”
Tapi kau adalah orang yang percaya
bahwa lupa akan membebaskan kita.
1994–1996
© 1996, Goenawan Mohamad
From: Misalkan Kita di Sarajevo
Publisher: Kalam, Jakarta
From: Misalkan Kita di Sarajevo
Publisher: Kalam, Jakarta
Gedichten
Gedichten van Goenawan Mohamad
Close
Sirkus
Sudah kau duga: tak ada lagiyang datang ke dalam tenda.
Hanya empat turis setengah buta yang turun
ke pelabuhan, dari sebuah kapal hitam Yokohama,
berbisik, “Ayo cari kenangan,”
dan pada carik kertas merang
mereka tuliskan namamu (barangkali namamu).
Di trapis kau tak menangis.
Nun di atas kau mungkin melihat
malaikat, musafir, bergilir. Langit
seperti kejang, senja akan berakhir,
azan seperti sebuah jerit ambulans,
dan dongeng, teka-teki, seperti permen,
seperti lilin, dibawakan untuk anak-anak,
yang terbaring dalam sebuah barak
yang jauh, rumah yang jauh.
Ini sebuah distrik yang lelah, orang berkata, Banten yang tua.
Ini sebuah distrik yang kalah
Tidak, aku coba bantah.
Tapi di arena, badut yang mulai lapar
pun mencoba baca bayangnya sendiri
pada kain terpal: “Kok aku juga kehilangan.”
Kudengar seseorang bersenandung
di belakang panggung,
seseorang menghilang
ke dalam ruang rias,
menghapus pupur pada paras.
Seperti menghapus jejak.
Seperti menguliti ingatan.
Menguliti hati.
“Ini,” katanya, “akan mengubah kita
jadi kenyataan. Sirkus adalah sebuah mimpi.”
Sirkus: sebuah mimpi.
Tapi di luar, kenyataan
merayau batas. Seperti kejaran
desir hujan
pada muka kolam:
rutin air yang seakan membentuk bekas,
beribu lingkaran.
Riak, kilau, biru.
Mungkin juga bunyi. Janji.
Dan kau turun dari trapis.
Kau tak heran, tak ada parade kuda.
Tak ada sebaris gadis
dalam kaus putih,
beruang yang tertatih-tatih.
Hanya gerak kurcaci yang
menyusun sebuah ilusi:
“Lihat, tubuh kitalah
yang memerdekakan kita malam ini.”
Tubuh kita hanya minta kita
untuk tak mati, sebenarnya.
Tubuh kita hanya ingin bersentuhan
dengan girang pagi, geletar burung jantan,
hangat uap kopi dan mendengar
sebuah amar yang ringan, seperti:
“Hidup sekedar singgah minum di perjalanan.”
Tapi di lapangan ini sirkus pernah datang,
kau terbang,
akrobat meloncati sirkel api,
seakan burung yang menari.
Kita hewan yang pernah
membentuk sesuatu, katamu, dari takut itu:
sebuah struktur dalam ketakutan,
seperti sebuah kota dalam hutan.
Hanya akhirnya kuli-kuli akan mengusung
papan reklame,
umbul-umbul lama kita yang oranye,
melepas tenda.
Iring-iringan akan berpindah.
Ke tenggara, katamu. Arah Tasik.
Dan seperti petilasan tua, di sini akan menunggu
rumput yang remuk.
Tak ada panitia tak ada yang berkata,
“Kami tak akan lupa.”
Tapi kau adalah orang yang percaya
bahwa lupa akan membebaskan kita.
1994–1996
From: Misalkan Kita di Sarajevo
CIRCUS
As you suspected: no more visitorsto the tent.
Only four tourists, half-blind, who staggered
down the harbor from aboard a black Yokohama ship,
whispering, “Go on, write down your impressions,”
and on a sheet of rice paper
they wrote down your name (well, probably your name).
On the trapeze you did not cry.
Once, somewhere up there you might have seen
angels, travelers, by turns. The sky as if
convulsed, dusk nearing its end,
the call to prayer like the scream of an ambulance,
and nursery tales, riddles, like candies,
like candles, were brought over to the children
who were lying in a barrack,
far, far away, in a distant house.
This is a tired district, people say, the old Banten.
This is a district defeated.
No, I tried to protest.
But in the arena, a clown with a rumble in his
stomach tried to read his own shadow
on a tarpaulin: “How come I too am at a loss.”
I heard a person humming
behind the stage,
someone disappearing
into the makeup room
to wipe powder off her face.
As if erasing a trace.
As if peeling off memories,
peeling off the heart.
“This,” he said, “will change us
into reality. Circus is but a dream.”
Circus: a dream.
But outside, reality
gropes the limits. Like the rushing,
rustling of raindrops
across a pool’s surface:
the routine of water shaping traces,
masses of circles.
Ripple, shimmer, blue.
And possibly sound, too. A promise.
And you descended the trapeze.
There was no horse parade, but you weren’t
surprised. No line of girls
in white leotards,
no bears wobbling on all fours.
Just the movement of dwarves
choreographing an illusion:
“Look, it is our bodies
that free us tonight. ”
Our body asks us only
not to die, actually.
Our body only wants to touch
the joy of morning, the flurry of a male bird,
the steaming warmth of coffee, and to hear
a gentle injunction, like:
”Life is just a beer break on a journey.”
But to this field the circus once came,
and you flew, acrobatic
leaping through a hoop of fire,
like a dancing bird.
We are all animals that tried to
fashion something out of that fear, you said,
a structure of fear,
like a city in the forest.
Still. In the end, the circus hands will
once more shoulder the billboards,
our old frayed orange tassels,
and dismantle the tent.
The troupe will move again.
To the southeast, you said. Towards Tasik.
And like in any old ruins, here
battered grass will wait.
There will be no committee, no one saying,
“We will not forget.”
But you believe that forgetting
is what will free us.
© 2004, Laksmi Pamuntjak
From: Goenawan Mohamad: Selected Poems
Publisher: 2004, KataKita, Jakarta
From: Goenawan Mohamad: Selected Poems
Publisher: 2004, KataKita, Jakarta
Sponsors
Partners
LantarenVenster – Verhalenhuis Belvédère